fenomena doom spending

Apa Itu Fenomena ‘Doom Spending’ yang Lagi Ngetrend di Kalangan Gen Z?

Istilah “Doom Spending” baru-baru ini menjadi perhatian publik, terutama warganet media sosial karena merujuk pada fenomena yang sering terjadi di kalangan Generasi Z dan Milenial.

Sejauh yang saya ketahui, istilah “Doom Spending” mengacu pada ketika seseorang berbelanja sembarangan untuk menenangkan diri karena pesimis tentang ekonomi dan masa depan mereka.

Selain itu, fenomena ini muncul sebagai reaksi stres, terutama terhadap kondisi ekonomi individu tersebut. Namun, sayangnya, fenomena ini telah menjadi tren yang mengkhawatirkan karena aktivitasnya dapat memiskinan individu tersebut.

Menurut Euro News, ini terjadi ketika orang menghabiskan uang mereka terlalu banyak untuk hal-hal yang tidak penting, seperti berjalan-jalan, mendapatkan pengalaman mewah, dan membeli barang-barang yang tidak penting.

Selain itu, individu yang mengalami fenomena ini seringkali berpikir bahwa menabung tidak ada gunanya karena mereka percaya bahwa mereka tidak akan dapat mencapai tujuan keuangan mereka. Dengan kata lain, mereka menerapkan prinsip untuk meningkatkan kualitas hidup mereka saat ini.

Sementara itu, Bruce Y Lee, profesor kebijakan dan manajemen kesehatan di City University of New York, memberikan gambaran dari istilah “Doom Spending”, menurut Psychology Today.

Menurutnya, Doom Spending terjadi ketika seseorang tertekan oleh hal-hal seperti ketidakpastian politik di Amerika Serikat, ketidakpastian iklim di seluruh dunia, dan sebagainya. Akibatnya, individu membeli lebih banyak barang untuk mengurangi stres.

Apa Itu Doom Spending?

Menurut Bloomberg, istilah “Doom Spending” mengacu pada fenomena atau tindakan membelanjakan uang untuk menghilangkan stres di tengah ketidakpastian ekonomi atau hubungan internasional yang tidak stabil.

Fenomena ini berbeda dengan “Terapi Belanja”, di mana seseorang biasanya berbelanja untuk menghibur diri karena masalah pribadi seperti karir, cinta, dan lain-lain. Seringkali, “Doom Spending” dipicu oleh hal-hal yang datang dari luar.

Faktor-faktor eksternal ini biasanya diperoleh dari informasi yang dikumpulkan; mereka dapat berasal dari ketidakstabilan ekonomi global atau adanya ketimpangan kekayaan antara masyarakat umum dan kelas super kaya.

Misalnya, informasi tentang konflik, krisis ekonomi, dan masalah lingkungan yang mudah diakses melalui smartphone seringkali dapat memperburuk fenomena Doom Spending. Perilaku belanja impulsif juga dapat menyebabkan fenomena ini terjadi.

terutama mengingat banyaknya fitur pembayaran saat ini, seperti “Buy Now, Pay Later” Selain itu, fenomena ini dianggap sebagai praktik yang berbahaya, terutama di kalangan remaja yang mengubah kesedihannya menjadi kebiasaan belanja yang buruk.

Ancaman di Balik Doom Spending

Ylva Baeckström, seorang pakar keuangan di King’s Business School, mengatakan bahwa Doom Spending berpotensi membuat Generasi Z atau Milenial lebih miskin daripada generasi sebelumnya.

Dia menyatakan, “Generasi sekarang mungkin tidak akan mencapai apa yang dicapai orang tua mereka.”

Selain itu, survei keuangan global yang dilakukan oleh CNBC dan Survey Monkey menemukan bahwa hanya 36,5 persen orang dewasa merasa lebih baik secara finansial dibandingkan orang tua mereka.

Namun, 42,8% lainnya merasa kondisi keuangan mereka lebih buruk. Selanjutnya, survei lain yang dilakukan Intuit Credit Karma pada November 2023 menemukan bahwa 96% orang Amerika merasa khawatir tentang kondisi ekonomi mereka.

Lebih dari seperempat dari mereka kemudian membelanjakan uang untuk mengatasi stres. Banyak generasi muda menggunakan cara berpikir “You Only Live Once” atau “YOLO” bahkan di tengah ketidakpastian ini.

Kemudahan Akses Pinjaman Online Jadi Pemicu

Selain itu, fenomena Doom Spending dianggap berbahaya dan mengkhawatirkan karena banyak orang yang berani meminjam uang melalui pinjaman online. Mudah-mudahan generasi muda tidak memiliki akses ke Pinjol.

Misalnya, pada Agustus 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan nilai penyaluran pinjaman fintech, juga dikenal sebagai pinjaman online, mencapai Rp 20,53 triliun.

Jumlah ini menunjukkan bahwa 60 persen penggunanya berasal dari Generasi Z dan Milenial berusia 19 hingga 34 tahun. Data ini jelas menimbulkan kekhawatiran yang signifikan tentang fenomena Doom Spending.

Dalam situasi ini, generasi muda tidak hanya menghadapi tekanan ekonomi tetapi juga berisiko tertunggak, yang berpotensi memperburuk keadaan keuangan mereka di masa depan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *